Total Tayangan Halaman

Selasa, 14 Mei 2013

konseling realitas


A.     Pendahuluan
Konseling realitas merupakan model konseling yang termasuk kelompok konseling cognitive-behavioral (perilaku-kognitif). Fokus terapi konseling realitas adalah problema kehidupan yang dirasakan oleh klien saat ini, dan dilaksanakan melalui interaksi aktif antara konselor dan klien. Dalam hal ini konselor mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan klien memberi jawaban sebagai respons terhadap pertanyaan konselor. Berkenaan dengan hal tersebut maka keterampilan bertanya merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh konselor realitas.
Tokoh utama model konseling realitas adalah seorang psikiater, yaitu Dr.William Glaser dengan dasar teorinya adalah “teori pilihan” untuk memenuhu atau memuaskan kebutuhan dasar manusia yang bersifat universal secara bertanggungjawab. Teori ini meupakan pengembangan dari “teori Pengendalian”. Ide dasarnya adalah bahwa terlepas dari apa yang telah terjadi pada manusia, apa yang telah dikerjakan oleh manusia, dan bagaimana kebutuhan-kebutuhan manusia tidak terpenuhi atau dilanggar, manusia mampu mengevaluasi realitas terkini dan kemudian memilih perilaku untuk memenuhi kebutuhan secara efektif pada masa kini dan masa yang akan datang (manusia dapat memudarkan pengalaman masa lalu, dan kemudian memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan masa kini dengan perilaku yang bertanggungjawab).

B.     Perspektif Historis
           Konseling realita (reality counseling atau reality therapy) dikembangkan oleh William Glasser pada tahun 1960-an sebagai reaksi penolakan terhadap konsep-konsep dalam konseling psikoanalisa. Glasser memandang Psikoanalisa sebagai suatu model perlakuan yang kurang memuaskan, kurang efektif,dan oleh karena itu ia termotivasi untuk memodifikasi konsep-konsep psikoanalisa dan mengembangkan pemikirannya sendiri berdasarkan pengalaman hidup dan pengalaman klinisnya.
Glasser lahir pada tahun 1925 di Ohio, USA. Pada awal karirnya Glasser adalah seorang insyinyur kimia yang kemudian beralih ke bidang medis dan meraih gelar dokter pada tahun 1953 dari Case Westem Reserve University. Setelah itu Glasser berlatih dibidang psikiarti di Veterans Administrasion Center dan  di University of California. Konseling realita dikembangkan oleh Glasser atas dasar pengalamanya selama peraktek klinisnya antara 1956-1967. Pengalaman kehidupannya pada masa kanak-kanak yang keras dan cenderung tidak menyenagkan juga mempengaruhi pandangan teoritiknya,khususnya tentang penekanan pada pentingnya tanggung jawab pribadi, tidak merugikan orang lain, dan hubungan perkawinan. Seperti dikemukakan oleh Glasser sendiri (1998), ayah dan ibunya menerapkan pendidikan yang keras dan otoriter terhadap dirinya dan oleh karenanya ia tidak rukun dengan mereka.
Buku pertama yang yang ditulis oleh Glasser, Mental Healt or Mental Illnes? Menjadi grandwork bagi perkembangan teori konseling realita. Buku keduanya, Really Therapy (1965) menegaskan prinsip-prinsip dasar dalam Konseling realita, yakni tentang pentingnya hubungan dan tanggung jawab guna mencapai tujuan dan kebahagiaan hidup. Ia memiliki keyakinan bahwa konselor yang hangat dan penuh penerimaan  merupakan aspek esensial bagi keberhasilan perlakuan, dan hubungan yang akrab dan positif adalah esensial bagi perkembangan pribadi yang sehat.  Tilisan-tulisan dalam materi kuliahnya tidak hanya menekankan pada konseling realita sebagai metode perlakuan, tetapi menerapkan pada lingkungan sekolah dan lingkungan bisnis. Robert E. Wubbolding adalah salah satu pengikut Glesser yang memberikan kontribusi sangat penting bagi perkembangnan konseling realita.

C.     Perilaku Bermasalah
Konseling realitas pada dasarnya tidak mengatakan bahwa perilaku individu itu sebagai perilaku yang abnormal. Konsep perilaku menurut konseling realitas lebih dihubungkan dengan berperilaku yang tepat atau berperilaku tidak tepat. Menurut Glasser, individu yang berperilkau tidak tepat itu disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam memuaskan kebutuhannya, akibatnya kehilangan “sentuhan” dengan realitas objektif, dia tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan realitasnya tidak   dapat melakukan atas dasar kebenaran, tanggung jawab dan realitas.
Meskipun konseling realitas tidak menghubungkan perilaku manusia dengan gejala abnormalitas, perilkau bermasalah dapat disepadankan dengan istilah yang dikemukakan Glasser yaitu identitas kegagalan . identitas kegagalan itu ditandai dengan keterasingan, penolakan diri dan irrasinalitas, perilakunya kaku, tidak objektif, lemah, tidak bertanggung jawab, kurang percaya diri dan menolak kenyataan.

D.    Hakikat Manusia
Berdasarkan konsep perilaku manusia, prinsip kerja konseling berdasarkan konseling realitas ini berdasarkan atas asumsi-asumsi berikut :
1.      Perilaku manusia didorong oleh usaha untuk menemukan kubutuhan dasarnya baik fisiologis maupun psikologis kebutuhan dasar ini berlaku sama untuk semua orang. Kebutuhan dasar seseorang adalah: (a) kebutuhan untuk mencintai, dan (b) kebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna untuk diri sendiri dan untuk orang lain.
2.      Jika individu frustrasi karena gagal memperoleh kepuasan atau tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya dia akan mengembangkan identitas kegagalan. Sebaliknya jika dia berhasil memperoleh kepuasan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya maka akan mengembangkan identitas keberhasilan.
3.      Individu pada dasarnya memiliki kemampuan untuk mengubah identitasnya dari identitas kegagalan ke identitas keberhasilan. Individu yang bersangkutan adalah pihak yang mampu mengubah dirinya sendirinya.
4.      Faktor tanggung jawab adalah sangat penting pada manusia. Orang yang berusaha memperoleh kepuasan mencapai success identity menunjukkan perilaku yang bertanggung jawab.
5.      Faktor penilaian individu tentang dirinya sangat penting. Untuk menentukan apakah dirinya termasuk memiliki identitas ke berhasilan atau identitas kegagalan.

E.     Tujuan Konseling
Secara umum tujuan konseling reality therapy sama dengan tujuan hidup, yaitu individu mencapai kehidupan dengan success identity. Untuk itu dia harus bertanggung jawab, yaitu memiliki kemampuan mencapai kepuasan terhadap kebutuhan personalnya.
Reality therapy adalah pendekatan yang didasarkan pada anggapan tentang adanya satu kebutuhan psikologis pada seluruh kehidupannya; kebutuhan akan identitas diri, yaitu kebutuhan untuk merasa unik, terpisah, dan berbeda dengan orang lain. Kebutuhan akan identitas diri merupakan pendorong dinamika perilaku yang berbeda di tengah-tengah berbagai budaya universal.
Kualitas pribadi sebagai tujuan konseling realitas adalah individu yang memahami dunia riilnya dan harus memenuhi kebutuhannya dalam kerangka kerja. meskipun memandang dunia realitas antara individu yang satu dengan yang lain dapat berbeda tetapi realitas itu dapat diperoleh dengan cara membandingkan dengan orang lain. Oleh karena itu, konselor bertugas membantu klien bagaimana menemukan kebutuhannya dengan (3-R): realitas (reality), melakukan hal yang baik (do right), dan tanggungjawab (responsiblility).
Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, karaktristik konselor realitas adalah sebagai berikut:
1.      Konselor harus mengutamakan keseluruhan individual yang bertanggung jawab, yang dapat memenuhi kebutuhannya.
2.      Konselor harus kuat, yakni, tidak pernah “bijaksana”, dia harus dapat menahan tekanan dari permintaan klien untuk simpati atau membenarkan perilakunya, tidak pernah menerima alasan-alasan dari perilaku irrasional klien.
3.      Konselor harus hangat, sensitif terhadap kemampuan untuk memahami perilaku orang lain.
4.      Konselor harus dapat bertukar pikiran dengan klien tentang perjuangannya dapat melihat bahwa seluruh individu dapat melakukan secara bertanggung jawab termasuk pada saat-saat yang sulit.
Konseling realitas pada dasarnya adalah prosese rasional, hubungan konseling harus tetap hangat, memahami lingkungan. Konselor perlu meyakinkan klien bahwa kebahagiaannya bukan terletak pada proses konseling tetapi pada perilakunya dan keputusannya, dan klien adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.

F.      Prosedur Konseling
1.      Berfokus Pada Personal
2.      Berfokus Pada Perilaku
3.      Berfokus Pada Saat Ini
4.      Pertimbangan Nilai
5.      Pentingnya Perencanaan
6.      Komitmen
7.      Tidak Menerima Dalih
8.      Menghilangkan Hukuman

G.    Peranan Konselor
Konseling realitas didasarkan pada antisipasi bahwa klien menganggap sebagai orang yang bertanggung jawab kepada kebaikan dirinya sendiri. Menerima tanggung jawab ini akan membantu klien untuk menyampaikan sendiri atau menunjukkan kematangannya, karena itu dia harus percaya pada dorongan internalnya sendiri. Konselor dapat memberikan dorongan, dengan jalan memuji klien ketika melakukan tindakan secara bertanggung jawab dan menunjukkan penolakannya jika klien tidak melakukannya.
Munculnya pendekatan sangat dipengaruhi oleh pengalaman Glasser yang bekerja di sekolah anak-anak wanita di Amerika. Glasser menaruh perhatian mengenai cara belajar klien dan masalah-masalah perilaku sambil dia bekerja dengan anak-anak yang memiliki penyimpangan perilaku, yaitu di Ventura School for Girls of California Youth Authority. Dia mencatat sejarah umum kegagalan dan kesalahan sekolh anak wanita itu, selain mendapat kepercayaan untuk menjadi konsultan sekolah itu. Glasser kemudian mengembangkan konsep konseling untuk memecahkan masalah para siswanya, yang kemudian dijelaskan dalam bukunya Reality Therapy.
Glesser berkeyakinan bahwa pendidikan dapat menjadi kunci yang efektif bagi hubungan kemanusiaan, dan dalam bukunnya school without failure, dia menyususn sebuah program untuk membatasi kesalahan dan kegagalan, dengan memasukkannya ke dalam kurikulum yang relevan, mengganti sistem disiplin hukuman, menciptakan pengalaman belajar, sehingga siswa dapat memaksimalkan pengalamnnya menjadi berhasil, membuat motivasi dan tantangan, membantu siswa mengembangkan perilaku yang bertanggung jawab, dan menetapkan cara melibatkan orangtua dan masyarakat dalam kegiatan sekolah yang relevan.
Singkatnya, pendekatan konseling realitas adalah aktif membimbing, mendidik dan terapi yang berorientasi pada cognitive behavioral. Metode kontrak selalu digunakan dan jika kontrak terpenuhi maka proses konseling dapat diakhiri. Pendekatannya dapat menggunakan “mendorong” atau “menantang”.

Selasa, 07 Mei 2013

STRES DAN KESEHATAN


STRES DAN KESEHATAN


Terlalu sibuk kerja, bisa bikin stres…
Lembur terlalu lama, juga bisa stres…
Kekasih main gila, juga bisa stres…
Kenakalan remaja, juga bikin stres…

(Rhoma Irama)

APAKAH STRES ITU?
Adalah hasil dari tidak/kurang adanya kecocokan antara orang (kepribadiannya, bakatnya, kecakapannya) dan lingkungannya, yang mengakibatkan ketidakmampuannya untuk menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya secara efektif (Foncham & Rhodes, 1988).
Istilah stres sendiri merupakan istilah yang dipinjam oleh Selye dari bahasa teknik. Dalam ilmu teknik, stres merupakan istilah untuk bergetarnya jembatan ketika dilewati beban yang cukup berat seperti ketika dilewati truk bermuatan.
Menurut Hans Selye, stres merupakan ketidakmampuan mekanisme tubuh seseorang dalam beradaptasi dengan berbagai macam tuntutan lingkungan. Selye menerangkan bahwa rangkaian perubahan dalam mekanisme tubuh (GAS: General Adaptation Syndrome) tersebut terdiri dari tiga tahapan:
a)    Alarm                   à individu mulai merasa bahwa ada tuntutan dari lingkungannya sebagai ancaman
b)    Resistance          à mengatur kemampuan diri untuk menghadapi tuntutan, dalam hal ini individu mulai melakukan berbagai coping stres
c)    Exhaustion          à jika stres terus berkelanjutan/kronis, individu bisa kehabisan tenaga (kerusakan permanen pada tubuh dan berujung kematian)

Pendapat Selye tersebut berdasarkan hasil eksperimennya kepada sekelompok tikus yang disuntik dengan larutan yang berbeda. Pada kelompok eksperimen, tikus-tikus disuntik dengan ekstrak kimiawi tertentu secara setiap hari sehingga menimbulkan borok dan masalah fisiologis lainnya seperti berhentinya pertumbuhan jaringan sistem kekebalan pada tikus. Pada kelompok kontrol, tikus-tikus hanya disuntikkan air garam yang seharusnya tidak menimbulkan efek apapun ternyata menunjukkan gejala yang sama. Dari eksperimen ini Selye mencermati bahwa bukan substansi cairan yang disuntikkan, tetapi karena penyuntikan setiap hari itu sendiri yang menjadi penyebabnya.
Peneliti lain mengkritik pendapat Selye dengan menyatakan bahwa stres bukan hanya dipandang sebagai reaksi, namun stres juga harus dilihat sebagai fungsi dari individu yang menafsirkan situasi. Reaksi orang tidak sama terhadap stressor yang sama, tergantung bagaimana orang mempersepsikan situasi yang dihadapi karena peta kognitif seseorang berbeda-beda.

Contoh:                 
Kemacetan panjang di suatu titik
·         Stres                                 
Bagi orang yang berfikir tidak ada alternatif lain, atau mengembangkan hal-hal yang akan terjadi jika telat datang, dsb.
·         Tidak menimbulkan stres
Bagi orang yang memiliki banyak alternatif jalan keluar, atau punya cara untuk menghilangkan kejenuhan saat macet, bagi orang yang memang ingin datang terlambat, dsb.

Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa:
“Stres bukan untuk dihindari, tapi stres adalah untuk dikelola”.

Ungkapan tersebut bukan tanpa dasar, menurut Selye tidak semua stres merugikan. Ia membagi stres menjadi dua: distress yang bersifat destruktif, dan eustress sebagai kekuatan untuk berprestasi.
distress
eustress
Tinggi
Rendah
Rendah
Tinggi
Unjuk kerja
Stress
 









Makin tinggi dorongannya untuk berprestasi, makin tinggi tingkat stresnya dan makin tinggi pula produktifitas dan efisiensinya. Pada jumlah tertentu, stres justru dapat mengarah ke gagasan-gagasan yang inovatif dan keluaran yang konstruktif.



PEMICU STRES (STRESSORS)
Selain dipicu oleh berbagai faktor eksternal yakni lingkungan kehidupan kita sehari-hari, stres juga ditentukan pula oleh individu itu sendiri. Yakni sejauh mana individu tersebut melihat situasinya sebagai penuh stres ditentukan juga oleh faktor-faktor dalam individu yang berfungsi sebagai faktor pengubah- sense of control.
Selain itu, sebagian orang ternyata ada yang memang secara kepribadian memiliki kerentanan mengalami stres. Karena tipe kepribadian tertentu juga akan memiliki cara coping stres yang tertentu pula, sehingga akan memunculkan respon yang khas pula pada situasi stressor tertentu.
Secara ringkas tipe-tipe kepribadian dan kecenderungannya mengalami stres disajikan dalam tabel 1.

Cenderung mengalami stres
Cenderung sulit stres
Kepribadian Introvert
Kepribadian Ekstrovert
Flexible (lebih terbuka terhadap pengaruh dari orang lain, shg mudah overload)
Rigid
Memiliki aktifitas berlebihan (overactivity), agresif, rasa bermusuhan
Santai, agresifitas rendah
Eksternal locus of control
Internal locus of control
Kepribadian Tipe A: ambisius, pesaing, agresif, bergelut dengan waktu.
Kepribadian Tipe B: easy going dan santai

Tabel 1. Tipe kepribadian dan kecenderungannya mengalami stres

CIRI-CIRI ORANG YANG DISTRESS
Menurut Everly dan Girdano (1980), akan mempunyai dampak pada suasana hati (mood), otot kerangka (musculoskeletal), dan organ dalam (visceral), al:
1.    Tanda-tanda pada mood:

-       Menjadi overexcited
-       Cemas
-       Merasa tidak pasti
-       Somnabulisme
-       Mudah bingung dan lupa
-       Uncomfortable dan gelisah
-       Gugup (nervous)

2.    Tanda-tanda pada musculoskeletal:

-       Jari-jari dan tangan gemetar
-       Tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat
-       Mengembangkan tic (gerakan tidak sengaja)
-       Kepala mulai sakit
-       Merasa otot tegang atau kaku
-       Bicara gagap
-       Leher kaku

3.    Tanda-tanda pada visceral:

-       Perut terganggu
-       Merasa jantung berdebar
-       Banyak keringat
-       Tangan berkeringat
-       Merasa kepala ringan atau akan pingsan
-       Mengalami kedinginan (cool chills)
-       Wajah menjadi “panas”
-       Wajah menjadi kering
-       Mendengar bunyi berdering di telinga
-       Mengalami rasa akan tenggelam dalam perut (sinking feeling)



PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN DENGAN STRES

1.    Sistem Muskuloskeletal
Stres menjadikan otot-otot di dalam tubuh menegang ketika tubuh bersiap-siap melakukan aksi atau bereaksi yang entah ancamannya nyata maupun baru diperkirakan. Otot merespon stres sebagai suatu ancaman sehingga timbul mekanisme-mekanisme adaptasi otot terhadap stresor yang muncul (Dadang Hawari, 2008). Otot-otot yang secara kronis menegang akan berkontraksi dan mengerut. Penegangan yang diakibatkan stres berdampak pada penyempitan pembuluh darah nadi, gangguan pada aliran darah ke daerah-daerah tertentu di kepala dan penurunan jumlah darah yang mengalir ke daerah tersebut. Jika suatu jaringan mengalami kekurangan darah hal ini akan langsung berakibat pada rasa sakit, sebab suatu  jaringan yang di satu sisi mengalami penegangan mungkin sedang membutuhkan darah dalam jumlah banyak dan di sisi lain  jumlah pasokan darah yang kurang akan merangsang ujung-ujung saraf penerima rasa sakit. Di saat yang sama zat-zat seperti adrenalin dan norepinefrin, yang mempengaruhi sistem saraf selama stres berlangsung, juga dikeluarkan. Hal ini secara langsung atau tidak langsung meningkatkan dan mempercepat penegangan otot. Ketika ini terjadi, otot-otot menarik ligamen (jaringan ikat), tendon, dan urat sendi yang kemudian menyebabkan sakit kepala, pungung, leher, tulang belikat dan lutut (Losyk, 2007).

2.    Sistem Pernapasan
Ketika kita bernapas di bawah kondisi tenang yang normal, napas kita mengikuti sebuah mekanisme yang teratur. Asma paling sering dipacu oleh karena adanya alergi tertentu. Meskipun demikian, asma juga dapat disebabkan oleh pemicu non-alergis, seperti stres, rasa takut, kelelahan, dan kecemasan (Losyk, 2007). Situasi stres tingkat tinggilah, dalam banyak kasus, yang mendahului timbulnya serangan asma. Dalam sebuah serangan asma, otot-otot dada mulai menegang, napas semakin memburu, dan pada waktu yang bersamaan, napas semakin pendek. Dalam kasus-kasus yang lebih ekstrim, stres bisa mengencangkan pipa-pipa saluran pernapasan dan mempersempit jalan napas mulai dari hidung hingga tenggorokan, dan otot-otot rongga dada menjadi tidak atau kurang elastis (Dadang Hawari, 2008). Alveolus menegang, memutus aliran oksigen. Lapisan dalam dari pipa pernapasan membengkak dan menjadi merah karena adanya proses inflamasi. Bagian ini bisa terisi penuh dengan lendir atau mukus, menimbulkan suara sengal-sengal yang khas pada penderita asma. Perubahan-perubahan ini membuat bernapas jadi sulit karena energi ekstra yang dibutuhkan untuk menarik napas. Tiap tarikan napas hanya menangkap sedikit udara, menimbulkan stres di seluruh tubuh.

3.    Sistem Gastrointestinal
Ulserasi lambung, biasanya dinyatakan sebagai luka non-penetrasi yang menyebabkan erosi pada lapisan mukosa lambung. Kondisi ini karena dianggap sebagai refleksi dari proses mendasar psikobiologikal umum yang diaktifkan oleh stres. Daerah ulserasi ditemukan di kedua rumen dan daerah kelenjar di sekitar lambung. Ada dua hal yang dapat menjadi penyebab ulserasi. Yang pertama muncul sebagai hasil dari prosedur kekurangan makanan, sedangkan yang kedua karena sensitif terhadap faktor psikologis (stres). Daerah yang mengalami  ulserasi biasanya mengalami perdarahan erosi dari mukosa lambung yang dangkal di sepanjang lipatan lambung. Pajanan yang lama terhadap stresor dapat menyebabkan ulserasi besar.
Ulser terjadi diakibatkan oleh sekresi asam pepsin lambung yang berlebihan karena adanya rangsangan autonomic nerve system (ANS) dari hipothalamus yang menyebabkann produksi asam pepsin. Corticotropin Releasing Hormone (CRH) bekerja melalui jalur simpatis untuk memicu sekresi asam lambung dan pada saat yang sama menstimulasi produksi bikarbonat dan memicu penurunan kontraksi lambung. Thyrotropin Releasing Hormone (TRH) bertindak sebagai agen ulcerogenic ampuh dan dirangsang oleh dingin. TRH memicu sekresi asam lambung dan memperlambat kontraksi lambung yang terkait dengan pengembangan ulserasi yang dipicu oleh stres menahan dingin.

4.    Kulit
Stres juga dapat mengarah kepada perubahan dermatologi. Ketika seseorang stres, produksi hormon kortisol meningkat. Hormon ini meningkatkan produksi minyak yang berlebihan dari dalam tubuh dan akibatnya, jerawat muncul. Sebuah penelitian yang dicatat di Archives of Dermatology, Psychological Stres Perturbs Epidermal Permeability Barrier Homeostasis, mengungkapkan bahwa stres memiliki efek negatif sehingga kulit tidak dapat berfungsi normal. Salah satu akibatnya adalah munculnya jerawat bahkan pada orang yang tidak memiliki masalah jerawat sekalipun.
Stres juga dapat meningkatkan perilaku menggaruk seperti pada penyakit pruritus atau gatal- gatal, yang pada gilirannya dapat memicu siklus gatal-gores dan, dalam beberapa kasus, menyebabkan kondisi kulit, seperti dermatitis atopik. Pruritus lebih lanjut dapat menjadi sumber stres yang signifikan untuk pasien. Stres akibat garukan dan gatal dapat menyebabkan perkembangan kondisi seperti chronicus simpleks lichen, di mana lapisan superfisial kulit menebal sebagai akibat dari menggaruk berulang.

5.    Sistem Kardiovaskular
Telah lama diketahui bahwa stres termasuk etiologi dari penyakit jantung koroner. Stres ini bias emosional dengan pekerjaan, sosial, kultural, herediter, dan stresor fisik. Berbagai teori pathogenesis penyakit jantung koroner berasal dari studi yang mencari hubungan antara diet tinggi lemak, situasi kehidupan penuh stres, dan perkembangan penyakit.
Orang dengan hiperkolesterolemia mempunyai risiko lebih tinggi menderita penyakit jantung aterosklerotik daripada orang dengan kadar normal. Sebaliknya, hasil studi menunjang adanya sifat protektif dari lipoprotein tertentu disebut high density lipoprotein (HDL), yang ternyata dapat menghambat atau mencegah perkembangan aterosklerosis. Kadar HDL serum wanita lebih tinggi dari kadar pada pria, sesuai dengan hasil studi yang menunjukan bahwa estrogen berfungsi menaikan HDL, sementara androgen cenderung menurunkan HDL. Selama stres, kadar kolesterol serum meningkat.
Ada penelitian yang menunjukkan hubungan antara stres menahun dengan tekanan darah. Stres meningkatkan tekanan darah, yang pada gilirannya melemahkan dan merusak pelapis pembuluh darah, menyediakan tempat bagi mengendapnya lipid sehingga terbentuk plak kolesterol. Akhirnya lumen menyempit, tahanan perifer meningkat, dan tekanan darah naik, ventrikel kiri menebal (hipertrofi), yang memerlukan lebih banyak oksigen. Ada korelasi bermakna antara penyakit hipertensi dengan penyakit jantung koroner.
Peningkatan insidens penyakit jantung koroner sehubungan dengan pola hidup kini, banyak diteliti. Pola kepribadian, di mana otang itu merasa tidak dapat mengendalikan keadaan lingkungan kerja atau sosialnya, tidak dapat rileks berhubungan erat dengan hipertensi dan serangan jantung, seperti persaingan di tempat kerja, kerja harus terburu-buru dan cepat, tidak ada waktu istirahat dan lain-lain. Pola kepribadian ini memberikan risiko paling besar untuk terjadinya penyakit arteri koroner simtomatik meskipun factor risiko lain dipertimbangkan.

MENGELOLA STRES
Hal ini bertujuan untuk mencegah berkembangnya stres jangka pendek menjadi stres jangka panjang. Reaksi yang dikenal selama ini dalam menghadapi stres ialah: Flight or Fight, yakni “melarikan diri” baik secara fisik (ex: mengundurkan diri dari perusahaan) maupun psikis (berkhayal, alkoholik, repress, narkoba) atau “melawan stres”.
Menurut pandangan interaktif (stres akibat faktor di lingkungan dan dari individu), dapat diusahakan beberapa langkah untuk mengelola stres, antara lain:
a.    Mengubah faktor-faktor di lingkungan agar tidak menjadi pembangkit stres. Semisal mengganti penataan ruangan, bagi yang stres karena macet bisa mengganti sarana transportasinya, dan sebagainya. dan
b.    Mengubah faktor-faktor dalam individu agar:
·         Ambang stres meningkat, tidak cepat merasakan situasi yang dihadapi sebagai penuh stres;
·         Toleransi terhadap stres meningkat, dapat lebih lama bertahan dalam situasi penuh stres, mempertahankan kesehatan akibat stres.

Dalam mengubah faktor individu ini bisa dilakukan dengan beberapa teknik:
·         Kerekayasaan kepribadian; yakni dengan meningkatkan sense of control seseorang. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan kepercayaan diri individu dan mengubah persepsinya tentang stressor.
·         Teknik penenangan pikiran; yakni dengan melakukan penenangan pikiran bisa dengan yoga, meditasi, dan melakukan program relaksasi-relaksasi yang lain.
·         Teknik penenangan melalui aktifitas fisik; tujuan dilakukannya aktifitas fisik ini adalah 1) untuk menghamburkan hasil-hasil stres yang diproduksi oleh ketakutan dan ancaman yang mengubah sistem hormon kita ke dalam sikap mempertahankan. 2) menurunkan reaktifitas kita terhadap stres di masa mendatang dengan mengondisikan relaksasi. Bisa dengan berenang, bersepeda, lari, menari, atau olahraga lain selama kurang lebih satu jam.

Victor Dante mengatakan dalam Rita Watson (1989), “But any form of exercise or relaxation that releases muscular tension is healthful…. The best techniques are sex, messages, hot baths, exercise and creativity”.


* * *




DAFTAR PUSTAKA

Jewell & Siegall. 1990. Psikologi Industri/Organisasi Modern. E/2. Terjemahan oleh: A. Hadyana Pudjaatmaka, Meitasari. 1998. Jakarta: Arcan.
Durant, V. Mark & Barlow, D.H. 2006. Intisari Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Munandar, A. S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI Press