Total Tayangan Halaman

Sabtu, 20 April 2013

Family Violence


FAMILY VIOLENCE
(KEKERASAN DALAM KELUARGA)

I.            PENGANTAR
Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal yang bersifat keras atau perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Undang-undang RI No. 23 tahun 2004 menyebutkan keluarga meliputi : suami, istri, anak, dan orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana yang dimaksud, karena hubungan darah, perkawinan, pengasuhan atau perwalian yang menetap dalam rumah tangga dan atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Menurut Salvicion dan Celis (1998, dalam Wikipedia) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. Sehingga dapat didefinisikan, kekerasan dalam keluarga (family violence) merupakan setiap perbuatan yang dilakukan salah satu anggota keluarga terhadap anggota keluarga yang lain yang menyebabkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan atau psikologis dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan dalam keluarga mencakup penyiksaan secara fisik, seksual dan psikologis umumnya dilakukan suami terhadap istri.  Namun, saat ini korban dari kekerasan keluarga tidak hanya dialami istri, kekerasan dapat terjadi pada anak-anak, orang yang bekerja atau menetap di dalam suatu rumah tangga. Penyiksaan fisik yang dilakukan dapat berupa tamparan, meninju, mencekik, menendang, menikam  dan menghempaskan korban ke dinding yang dapat berakibat kerusakan. Penyiksaan suami umumnya juga mencakup perkosaan atau penyerangan secara seksual terhadap korban (Browne, 1987). Dampak psikologis dari penyiksaan fisik sering kali dianggap remeh, namun banyak korban kekerasan keluarga memandangnya sebagai jenis pemukulan yang menghancurkan. Tindakan seperti meninju dinding, mendobrak pintu, dan mengarahkan senjata pada korban atau anak-anaknya dapat menjadi sangat menakutkan dan menghancurkan seperti serangan fisik. Akhirnya, penyiksaan sering mencakup penghancuran harta benda korban, termasuk membunuh atau menyiksa binatang peliharaan. Seorang pelaku dapat melakukan salah satu atau sekaligus semua kategori penyiksaan tersebut.
Penelitian Tong, Oates dan McDowell tahun 1987, terhadap perkembangan kepribadian anak usia 5 – 19 tahun yang mengalami kekerasan seksual di Australia, menemukan bahwa kekerasan seksual menimbulkan konsekuensi psikologis jangka panjang yang mempengaruhi kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain, yaitu dengan hilangnya rasa percaya terhadap orang lain, diri sendiri, serta rusaknya self esteem anak. Di sisi lain, anak juga bisa menunjukkan gejala tingkah laku seperti rasa takut bila bersama dengan orang dewasa dengan ciri tertentu, perilaku regresif (misalnya mengompol, melukai orang lain atau diri sendiri), hubungan kurang akrab dengan teman sebaya, menghindari aktifitas fisik di sekolah, ketakutan dan kecemasan yang berlebihan bila bertemu dengan orang yang tak dikenal maupun yang dikenal, perilaku nakal dan agresifitas yang tinggi.
Di dalam makalah family violence ini, dibahas pula tentang mitos-mitos mengenai kekerasan dalam keluarga, antara lain:
1.      Mitos 1   :    kekerasan sering terjadi pada orang-orang dari lingkungan miskin yang hidup di daerah pinggiran.
      Realita    :    kekerasan dapat terjadi di segala aspek status sosial, baik status ekonomi menengah ke atas maupun status ekonomi menengah ke bawah
2.      Mitos 2   :    kekerasan dan cinta tidak dapat berjalan beriringan.
      Realita    :    orang tua sering kali memilih kekerasan sebagai hukuman terhadap kenakalan anak. Kekerasan merupakan ekspresi rasa cinta orang tua pada anak, dalam berbagai kesempatan pelaku dan korban dapat berbagi kebahagiaan.
3.      Mitos 3   :    pertumbuhan kekerasan pada anak akibat melihat kekerasan yang terjadi pada orang tua.
      Realita    :    pemasalahan ekonomi dan kepribadian seseorang dapat menjadi faktor terjadinya kekerasan
4.      Mitos 4   :    kekerasan keluarga paling banyak dipicu oleh (pecandu) alkohol dan obat-obatan terlarang.
Realita    :    beberapa pelaku kekerasan bukan pemabuk atau pengguna narkoba, kekerasan terjadi karena kepribadian seseorang dan pemasalahan keuangan dalam keluarga. 
5.      Mitos 5   :    perilaku kekerasan pada remaja lebih mirip orang tua remaja itu sendiri daripada orang lain.
Realita    :    orang tua laki-laki (suami) cenderung melakukan kekerasan terhadap istri daripada kepada anak mereka.
Terdapat tahapan-tahapan terjadinya kekerasan dalam keluarga, yaitu: (1) tahap pertama; munculnya ketegangan, (2) tahap kedua; terjadinya kekerasan, (3) tahap ketiga; pelaku kekerasan merasa menyesal. Tahap ketiga adalah saat di mana pelaku memiliki kontrol yang besar. Namun, apabila siklus ini berulang lagi dengan sendirinya maka rasa menyesal pelaku semakin berkurang. Pelaku cenderung semakin beringas, sehingga kemungkinan besar kekerasan akan timbul kembali. Pada umumnya, para korban akan mengalami lima hingga tujuh kali episode kekerasan sebelum mereka mencari pertolongan atau meninggalkan suatu hubungan. Semakin lama kekerasan terjadi maka semakin sulit bagi korban untuk meloloskan diri.
Ada bermacam-macam cara yang dilakukan pelaku tindak kekerasan untuk melunturkan pertahanan dan kekuatan korban, yakni dengan:
No
Cara pelaku tindak kekerasan
Indikasi
1
Ancaman
Kekerasan fisik
Memangkas anggaran rumah tangga
Kasar terhadap anak-anak
Bunuh diri
2
Isolasi
Membatasi apa yang dilihat dan diajak bicara oleh korban
Membatasi gerak-gerik ketika korban keluar rumah
Mencegah korban untuk bekerja
Menunjukkan rasa cemburu berlebih
Memperburuk hubungan dengan teman hingga dengan keluarga
3
Lisan
Menghina
Mempengaruhi pikiran
Memanggil dengan sebutan nama
4
Intimidasi
Kasar terhadap hewan
Menunjukkan/menghunuskan/menodongkan senjata
Membanting barang
Mengancam lewat penampilan, tindakan, dan bahasa tubuh


Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, meliputi:
1.      Kekerasan fisik     : perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. (missal: menampar, menggigit, memutar tangan, mencekek, membakar, menendang, mengancam dengan benda dan membunuh)
2.      Kekerasan Psikis   : perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. (missal: mengintimidasi, mengancam, mengurung di rumah, mencaci maki, penghinaan secara terus menerus, membatasi pelaksanaan KB)
3.      Kekerasan Seksual            : setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan tidak disukai, perusakan organ reproduksi wanita, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial.
4.      Penelantaran dalam keluarga        : seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup keluarganya, padahal menurut hokum yang berlaku ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
5.      Kekerasan sosial    : perbuatan yang mengakibatkan seseorang terisolasi dari kehidupan sosialnya.

II.            KLASIFIKASI MENGENAI FAMILY VIOLENCE
A.     MARITAL RAPE (PERILAKU MENYIMPANG dalam PERNIKAHAN)
Secara terminologis, pendefinisian marital rape sangat beragam. Menurut Bergen, hubungan seksual lewat vagina, mulut maupun anus, yang dilakukan dengan paksaan, ancaman, atau istri dalam keadaan tidak sadar. Awal tahun 1994 dipublikasikan kasus Lorena Bobbit, yang memotong penis suaminya setelah dirinya diperkosa dan ditinggal tidur begitu saja, dan itu membuat sebagian orang waspada akan kekerasan dalam pernikahan. Namun, hal tersebut masih terdengar asing bagi publik, pemerkosaan dalam perkawinan kerap kali dialami wanita yang dilakukan oleh suaminya, lazimnya disebut sebagai pemaksaan dalam berhubungan intim, lebih umum daripada pemerkosaan yang dilakukan oleh orang asing dan teman.
Dari pengambilan sampel dari wanita di San Fransisco oleh Diana Russell (1990), 8 persen telah diperkosa oleh suaminya sendiri, sedangkan 3 persen oleh orang asing dan 5 persen oleh teman atau orang yang dikenal oleh korban. Berfokus pada wanita yang telah menikah, Russell dan peneliti lainnya menemukan 10-14 persen wanita menderita dalam pemerkosaan dalam perkawinannya. Marital rape merupakan tindak kekerasan yang terjadi di dalam keluarga, yaitu tindak kekerasan seksual suami terhadap istri. Bentuk kekerasan yang dijadikan batasan pembahasan ini adalah hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri karena ketidaksiapan istri, baik fisik atau psikis karena mungkin istri dalam kondisi yang lelah ataupun yang lainnya sehingga mengakibatkan sakit pada istri. Hal seperti ini yang merupakan pemaksaan karena hanya satu pihak yang merasakan kenikmatannya.
Bentuk (alami) perilaku menyimpang dalam pernikahan
Kebanyakan pemerkosaan dalam pernikahan melibatkan kekerasan fisik atau ancaman. Sebagai contoh, korban berkata “dia ingin melakukan hubungan intim denganku, namun aku menolak. Dia marah dan memaksaku dengan menanggalkan celana dalamku. Dia melakukannya sendiri, karenanya aku melawan. Aku mendorongnya, namun dia lebih kuat dariku, pada akhirnya dia menghempaskanku, merentangkan kedua kakiku, dan melakukan penetrasi dengan paksa.” Beberapa akibatnya menyebabkan luka serius pada korban; seorang wanita berkata “dia mencekikku dengan kuat dan menyebabkan bekas biru dan hitam pada tenggorokanku. Dan dia membuat mataku hitam lebam.. Pernah suatu ketika, aku berlumuran darah, dan tetangga memanggil polisi.” (Russell, 1990). Berlawanan dengan asumsi masyarakat, mayoritas pemerkosaan dalam pernikahan tidak melibatkan penetrasi lewat vagina. Kekerasan terhadap alat vital wanita tidak lebih banyak kasusnya daripada kekerasan lewat anus. Kekerasan parah lainnya berupa memasukkan objek ke alat vital wanita, pemaksaan hubungan seksual di depan anak-anak mereka, pemaksaan seksual ketika sang istri lepas dari rumah sakit - biasanya setelah melahirkan (Barnett, Miller-Perrin, dan Perrin, 2005).
Lebih dari pelaku menganggap hubungan intim dilakukan dengan istrinya tanpa memandang pasangannya mau atau tidak. Namun, pemerkosaan dalam pernikahan ataupun yang dilakukan oleh orang asing sama-sama meninggalkan trauma, dampaknya akan membuat ketakutan yang sangat mendalam pada korban. Salah seorang korban mengatakan, “Dia seolah-olah ingin membunuhku. Tidak hanya menampar atau menendang, dia juga mencampakkanku dan meninggalkanku begitu saja” (Browne, 1987). Setelah percekcokan demikian, mereka yang memiliki pekerjaan atau mampu secara ekonomi lebih cenderung untuk memilih bercerai, sedangkan yang tidak memiliki pekerjaan cenderung tetap menjalani kehidupan pernikahannya. Mereka yang memilih untuk bertahan, acap kali menghindari hubungan seksual atau mengembangkan sikap yang kurang baik terhadap hubungan seksual (Barnett, Miller-Perrin, dan Perrin, 2005; Bergen 1996).
Penyebab Perilaku Menyimpang Dalam Pernikahan
Pemerkosaan disebabkan oleh tiga hal (Bergen, 1996). Pertama, adanya diskriminasi gender yang mana suami berhak untuk melakukan seks dengan cara apapun yang mereka inginkan terhadap istrinya. Keyakinan seperti ini merupakan mitos patriarkis yang populer yang mana istri dapat diperkosa karena mereka milik suaminya (Ferro et al., 2008). Tidak heran, meskipun di semua negara bagian akhirnya menetapkan pemerkosaan tersebut sebagai kriminal, namun masih jarang pria yang dituntut atas perlakuannya. Penyebab kedua adalah usaha suami untuk menghukum istrinya atas apa yang dianggapnya sebuah perselingkuhan atau kesalahan lainnya yang dilakukan istrinya. Berikut adalah bagaimana korban menjelaskan mengapa suaminya bertindak demikian: Semuanya terjadi karena dia begitu cemburu. Dia selalu berpikir bahwa aku sedang mengincar lelaki lain. Seperti saat kakak laki-lakiku dan teman suamiku - orang-orang yang tumbuh bersamaku - mengunjungiku, dan dia mencurigaiku serong, dia amat marah karenanya. Dia mulai memukulku dan memaksaku berhubungan intim. (Bergen, 1996).
Penyebab ketiga adalah bentuk pengawasan atau pengendalian berlebih terhadap istrinya. Salah seorang wanita menuturkan apa yang terjadi padanya: Semakin dia lepas kendali, semakin buruk yang saya dapatkan. Jika aku mendapatkan pekerjaan atau melakukan sesuatu yang baik, dia tidak dapat menerimanya. Dia akan menghajarku dan memaksaku melakukan hubungan intim semata-mata mendapatkan pengotrolan kembali. (Bergen, 1996).
Ketiga penyebab di atas merupakan bagian integral dari masyarakat penganut patriakis di mana laki-laki lebih dominan daripada wanita, dengan perlakuan kasar dalam hubungan intim sebagai esensi dominasi laki-laki terhadap wanita. Laki-laki yang menganut keyakinan tersebut, kemungkinan besar melakukan kekerasan terhadap istrinya sebagai hak untuk mendapat kepuasan seks, menghukum, dan mengontrol istrinya. Dikarenakan masih ada kekurangan dalam riset terhadap permasalahan ini, masih sulit untuk menjelaskan secara akurat mengapa, dalam kondisi patriakis yang sama, budaya yang menjadi penyebab, laki-laki lebih cenderung menerima patriakis sebagai prioritas utama.
Pada budaya yang sama, pemerkosaan dalam pernikahan cenderung membuat korban merasa bersalah atau menyalahkan diri sendiri. Berikut adalah pernyataan mereka sebagai korban: “Aku bukan orang yang sensual dan tidak memiliki yang diinginkan suamiku. Ketika aku mencoba berkata tidak, dia akan membuatku berkata iya, aku benar-benar tertekan. Aku tidak memberikan tanda-tanda seks. Aku bukan tipe yang komunikatif dalam masalah seks” (Russell, 1990).

B.     CHILD ABUSE (KEKERASAN pada ANAK)
Berbeda dengan kekerasan dalam rumah tangga (family violence), kekerasan pada anak (child abuse) lebih mendapat perhatian banyak orang. Hampir berjuta-juta anak mengalami kekerasan tiap tahun. Kekerasan pada anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik dan psikis yang berakibat penderitaan pada anak meliputi: penganiayaan, penelantaran, eksploitasi seksual, dan ekonomi yang dilakukan orang tua atau pengasuh lain. Kekerasan pada anak secara garis besar dibagi menjadi dua tipe, meliputi: kekerasan seksual dan kekerasan fisik.
Tower (2003) menyebutkan terdapat empat bentuk child abuse berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional dan pengabaian.
1.      Kekerasan Fisik; kekerasan yang menyebabkan luka-luka di seluruh tubuh melalui pukulan, gigitan, tendangan dan pembakaran.
2.      Kekerasan Seksual; aktivitas seksual yang melibatkan anak dan orang lain
3.      Kekerasan Emosional; meliputi serangan verbal atau emosional, ancaman membahayakan atau kurungan tertutup.
4.      Pengabaian; pengabaian secara fisik, pengabaian secara pendidikan, pengabaian emosional.
Data KOMNAS perlindungan anak pada tahun 2007 menunjukkan, jumlah kasus kekerasan pada anak di Indonesia terus meningkat. Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, pada 2007 jumlah pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 40.398.625 kasus. Jumlah itu melonjak drastis jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 13.447.921 kasus. Data tersebut berdasarkan laporan yang masuk ke lembaga tersebut, yang tersebar di 30 provinsi.
Bentuk (alami) kekerasan pada anak
Pada umumnya kekerasan pada anak dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri, misal ayah kandung atau ayah tirinya. Menurut suatu kajian, dimana antara 10-20 persen wanita menjadi korban kekerasan ketika masa kanak-kanak atau remaja, sedangkan 1-3 persen karena pengalaman tidak menyenangkan. Salah satu survey menyebutkan bahwa anak perempuan pada situasi sekarang ini, sangatlah rentan terhadap kekerasan seksual. Alasan pada umumnya pelaku adalah sangat beragam, selain tidak rasional juga mengada-ada. Sementara itu usia korban rata-rata berkisar antara 2 – 15 tahun bahkan diantaranya dilaporkan masih berusia 1 tahun 3 bulan. Para pelaku sebelum dan sesudah melakukan kekerasan seksual umumnya melakukan kekerasan, dan atau ancaman kekerasan, tipu muslihat dan serangkaian kebohongan.
Cara-cara yang dilakukan pelaku kekerasan seksual terhadap yang disebutkan diatas merupakan tindakan sangat menjijikkan, binatang dan amoral. Sejumlah kasus dilaporkan, selain pelaku dibantu dan difasilitasi oleh istri berkali-kali, ada juga ditemukan kasus pelaku dibantu oleh anak dan kakak ipar, bahkan sampai pada tingkat incest yang dilakukan berkali-kali. Kemudian kasus incest yang juga baru-baru ini terungkap dialami 3 orang kakak beradik berusia 12, 14, dan 16 tahun disalah satu desa di Jawa Tengah, menjadi budak seks orang tua kandungnya sendiri selama berbulan-bulan hingga melahirkan. Mereka yang mengalami kekerasan, pada umumnya menunjukkan kesulitan atau ketidakpuasan ketika menjalin hubungan seksual dengan orang lain dan mengalami permasalahan dalam penikahannya.
Penyebab kekerasan pada anak
Kekerasan pada anak merupakan fenomena yang kompleks dengan penyebab yang bermacam-macam. Memahami penyebab kekerasan sangat penting untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap anak. Permasalahan sosial menjadi faktor utama terjadinya kekerasan pada anak. Faktor lain yang mendukung terjadinya penganiayaan terhadap anak antara lain immaturitas atau ketidakmatangan orang tua, kurangnya pengetahuan bagaimana menjadi orang tua, harapan yang tidak realistis terhadap kemampuan dan perilaku anak, pengalaman negatif masa kecil dari orang tua, isolasi sosial, problem rumah tangga, serta problem obat-obat terlarang dan alkohol. Ada juga orang tua yang tidak menyukai peran sebagai orang tua sehingga terlibat pertentangan dengan pasangan dan tanpa menyadari bayi atau anak menjadi sasaran amarah dan kebencian.
Sebagian orang tua masih percaya pada konsep kuno tentang cara mendidik anak dengan kekerasan. Kekerasan merupakan wujud hukuman dari orang tua untuk mendisiplinkan perilaku anak yang tidak menyenangkan. Para orang tua kurang menyadari dampak kekerasan yang dilakukan pada anak, seperti: muncul perilaku agresif, keras kepala, menumbuhkan jarak antara orang tua dan anak, mengubah perilaku anak dalam bergaul (introvert). Faktor sosial lain yang yang juga memberikan kontribusi terjadinya kekerasan pada anak, termasuk: kemiskinan, pengangguran, permasalahan keluarga dan kesalahan dalam pendidikan.
Menurut hasil pengaduan yang diterima KOMNAS Perlindungan Anak (2006), pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah : 1) Kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya. Kondisi menyebabkan tidak terelakkannya kekerasan terjadi juga pada anak. Anak seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua, 2) Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi, 3) Faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi. Tertekannya kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak terjadi, 4) Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orang tua menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan oleh orang tua.
Menurut Gelles Richard.J (1982) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child abuse) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu:
  1. Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violance)
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan kepada anaknya. Perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi-studi menunjukkan bahwa lebih kurang 30% anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan menjadi orangtua yang bertindak keras kepada anak-anaknya. Sementara itu, hanya 2 sampai 3 persen dari semua individu menjadi orangtua yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orangtua. Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya.
2.    Stres Sosial (social stress)
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan.
Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan.
3.    Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah
Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat.
4.    Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain itu, keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.
Menurut Rakhmat (2003) faktor sosial penyebab kekerasan terhadap anak antara lain:
1) Norma sosial, yaitu tidak ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan pada anak-anak, maksudnya ketika muncul kekerasan pada anak tidak ada orang di lingkungannya yang memperhatikan dan mempersoalkannya.
2) Nilai-nilai sosial, yaitu hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti hirarkhi sosial di masyarakat. Atasan tidak boleh dibantah. Aparat pemerintahan harus selalu dipatuhi. Guru harus digugu dan ditiru. Orangtua tentu saja wajib ditaati dengan sendirinya. Dalam hirarkhi sosial seperti itu anak-anak berada dalam anak tangga terbawah. Mereka tidak punya hak apa pun, sedangkan orang dewasa dapat berlaku apa pun kepada anak-anak.
3) Ketimpangan sosial, banyak ditemukan bahwa para pelaku dan juga korban child abuse kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah. Kemiskinan, yeng tentu saja masalah sosial lainnya yang diakibatkan karena struktur ekonomi dan politik yang menindas, telah melahirkan semacam subkultur kekerasan. Karena tekanan ekonomi, orangtua mengalami stress yang berkepanjangan. Ia menjadi sangat sensisitif. Ia mudah marah. Kelelahan fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak. Terjadilah kekerasan emosional.

C.     FEMALE GENITAL MUTILATION
Kata lainnya adalah penyunatan. Mutilasi organ perempuan meliputi pemotongan sebagian organ  genital perempuan meliputi pemotongan klitoris, kulit khatan, labia atau bibir vagina. Di  Afrika, hal ini sudah menjadi bagian dari kultur di Afrika selama ratusan tahun. Mutilasi genital pada  anak–anak perempuan biasanya dilakukah pada umur 4 sampai 14 tahun. Sebagian besar orang yang melakukan penyunatan adalah pemangku adat, yaitu sesepuh perempuan di dalam komunitas yang telah ditunjuk oleh komunitasnya.
Mutilasi organ genital perempuan ini membuat keterkejutan dunia barat. Ini dikatakan  pelanggaran hak asasi manusia terburuk karena dilakukan tanpa menggi menggunakan anastesi.Sebagian besar peneliti sosial dari barat hasil observasinya menunjukkan bahwa korban banyak menderita banyak sekali gangguan-gangguan kesehatan.Seperti masalah fisik,bisa menyebabkan kematian,pendarahan dan sakit yang parah.Sebagian melingkupi tentang masalah psikis seperti,gelisah,depresi,kepercayaan diri yang rendah  dan selalu teringat-ingat terus tentang penyunatan yang telah dilakukan.
Masalah lain adalah masalah seksual. Perempuan tidak dapat merasakan kenikmatan seksual dan orgasme atau suami mereka memilih untuk melakukan hubungan seksual dengan wanita lain yang tidak disunat.Akan tetapi tidak semua korban penyunatan mengalami masalah-masalah diatas.
Penyunatn perempuan dengan dalih menyalahkan patriaki,dan argument bahwa bagi komunitas tersebut penyunatan adalah hal yang umum.Dalam paham patriaki,terlihat bahwa laki-laki mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan sosial perempuan.Penyunatan terlihat sebagai usaha untuk mengecilkan hati dan perempuan-perempuan yang belum menikah untuk menjadi istri yang patuh.Tapi banyak juga masyarakat penganut patriaki yang tidak melakukan praktik penyunatan.
Dalam masyarakat patriaki mungkin  dilakukan praktek penyunatan tapi itu hanya sekedar alasan.banyak alasan spesifik kenapa penyunatan pada perempuan hanya dilakukan dibeberapa tempat diAfrika. Alasan pertama karena budayanya percaya bahwa penyunatan alat kelamin pada wanita adalah sangat diinginkan. Menurut mereka mutilasi lkitori dan labia akan membuat alat klamin wanita tampak maskulin dan menyakitkan mata wanita.maka nya harus dihilangkan.setelah dihilangkan alat kelamin wanita akan terlihat sangat feminism dan menyenangkan sacara estetis.penyunatan pada wanita ini sama saja seperti bedah kosmetik seperti membesarkan payudara atau mengecilkannya agar tampil menarik dimata orang lain dan masyarakat.
Alasan kedua karena penyunatan mempunyai nilai sosial tinggi tentang keperawanan dan kemampuan dan kesiapan untuk berumah tangga karena penyunatan adalah pembuktian keperawanan dan membuat wanita siap berumah tangga. Alasan ketiga karena dengan melakukan penyunatan terjadi timbal balik sosial dan keuntungan secara psikologis. Ritual menyunatan perempuan membantu wanita menjadi dihargai oleh teman sebaya didalam komunitasnya. Pada akhirnya, pengalaman yang berhubungan dengan pisau menimbulkan perasaan berani dan kuat.membuat wanita mendapat dukungan positif dari komunitasnya. Ketika sesudah disunat diadakan pesta untuk member penghargaan pada wanita yang sudah disunat dari tetangga, teman-temannya, saudara-saudaranya dan orang lainnya.

D.    ELDER ABUSE
Sebagain besar orang mampu merawat dirinya sendiri akan tetapi sebagian ada juga yang tidak bisa merawat dirinya sendiri.pada saat ini sekitar 25% manula hidup dirumah tapi sisanya hidup bersama saudaranya.beberapa dari mereka tergantung pada perawatnya.
Bentuk kekerasan pada manula
Para manula sering kali tampak diabaikan baik secara emosional dan eksploitasi secara financial. Para manula sering kali hidup dengan anaknya tertua dari pada hidup sendiri akan tetapi karena ketidak mampuan anaknya merawat dan sering kali dan bekerja sampai larut malam maka anaknya akan megambil seseorang untuk merawat dirumah. Karena merawat manula sering kali membuat stres yang merawatnya. Merawat manula laki-laki lebih disenangi dari pada merawat manula perempuan jika hidup dengan saudaranya manula laki-laki rentan diabaikan apalagi jika mereka hidup terisolasi dan tanpa perawatan dari perawat. Tanpa dukungan teman-teman dan saudara-saudaranya manula akan cenderung menjadi lemah secara pskologis untuk dibaikan dan akhirnya menjadi tertekan. Manula kelas menengah cenderung suka mengabaikan atau melecehkan manula kelas bawah.
Secara umum manula yang terabaikan akan menderita berbagai maalh fisik dan psikologis. Secara psikologis mereka mengalami ganguan depresi dan ganguan tidur.

III.            TEORI MENGENAI FAMILY VIOLENCE
Beberapa ahli mengemukakan beberapa pendapat yang berbeda mengenai perilaku kekerasan dalam keluarga dengan mengembangkan teori-teori yang terkait dengan kekerasan dalam keluarga.  Perbedaan tersebut memunculkan teori-teori, sebagai berikut:

1.      TEORI SOCIAL LEARNING
Teori ini menyatakan bahwa orang-orang cenderung terlibat kekerasan dalam keluarga dikarenakan mereka telah mengalami kekerasan sebelumnya. Mereka mungkin telah mengalami kekerasan sebagai pelaku atau sebaliknya (korban) atau mengetahui betul  tindak kekerasan di lingkungan sosialnya. Dari pengalaman tersebut, seseorang memahami bahwa kekerasan merupakan cara yang sesuai untuk berurusan dengan masalah interpersonal. Dengan pembelajaran tersebut, sewaktu seorang pria beradu mulut dengan istrinya, sewaktu seorang wanita mengalami kesulitan menghentikan anaknya berperilaku buruk, atau tatkala seseorang dengan masalah finansial kesulitan dalam merawat keluarganya yang lansia, maka mereka berkecenderungan untuk melakukan kekerasan terhadap orang-orang di dalam keluarganya.
2.      TEORI STRESS
Stoklos (1986: 35) mendefinisikan stress sebagai sebuah keadaan dari ketidakseimbangan dalam diri seseorang, sebagai dampak dari perbedaan perasaan antara tuntutan lingkungan dan kapasitas seseorang untuk memenuhi tuntutan tersebut. Setiap orang mempunyai potensi untuk mengalami stress, kondisi tersebut dapat terus berlanjut kecuali bila kita telah meninggal. Namun, beberapa di antara kita ada yang mampu bertahan dalam stress yang hebat daripada yang lainnya, dan mereka lebih cenderung berniat untuk melakukan perilaku kekerasan. Sedangkan, dalam kondisi stres yang sama, beberapa orang cenderung melakukan kekerasan daripada lainnya. Stress tidak selalu berujung pada kekerasan dalam keluarga secara terpisah tergantung pada bagaimana kepribadian seseorang dalam menyikapi permasalahan hidup yang dialami (seperti: permasalahan keuangan) atau dukungan sosial dari keluarga, teman, dan orang-orang yang berada di linkungan sosialnya.

3.      TEORI EXCHANGE
Teori ini didasarkan pada prinsip untung dan rugi, serupa dengan hukum penghargaan dan hukuman. Sesuai dengan teori ini, jika keuntungan atau penghargaan untuk melakukan kekerasan lebih besar daripada kerugian atau hukuman yang diterima, maka seseorang akan cenderung melakukan kekerasan. Jadi, kekerasan timbul di beberapa keluarga karena ada keuntungan di balik itu, seperti kenikmatan berkuasa dan mengatur korbannya, dengan resiko ditangkap lebih besar. Penegak hukum umumnya tidak antusias menangkap pelaku karena hal tersebut merupakan urusan pribadi keluarga.

Respon Masyarakat Terhadap Kekerasan Dalam Keluarga
Kesadaran masyarakat terhadap Kasus Kekerasan Dalam Keluarga yang terjadi selama ini masih rendah. Pasalnya,masyarakat masih menganggap kasus kekerasan dalam keluarga ini masih urusan privat, maka itu kasus ini  semakin meningkat. Kekerasan yang dilakukan oleh orang asing atau orang yang tidak dikenal terhadap wanita, anak-anak, dan orang lanjut usia akan benar-benar dikenakan hukuman berat atas perbuatannya. Sedangkan, kekerasan yang sama dilakukan oleh anggota keluarga lebih cenderung ditindak lebih toleran atau bahkan diabaikan karena kepercayaan tradisi yang sakral dan masalah pribadi keluarga masing-masing. Sehingga hal tersebut berdampak sulitnya melindungi hak-hak perempuan, anak-anak, dan orang lanjut usia atas kekerasan demi hasil yang memuaskan (Gelles, 1995).
Di Indonesia data tentang kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan secara sistematis pada tingkat nasional.  Laporan dari institusi pusat krisis perempuan, menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan.  Menurut Komisi Perempuan (2005) mengindikasikan 72% dari perempuan melaporkan tindak kekerasan sudah menikah dan pelakunya selalu suami mereka.  Mitra Perempuan (2005) 80% dari perempuan yang melapor pelakunya adalah para suami, mantan suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5% dari perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun.  Pusat Krisis Perempuan di Jakarta (2005); 9 dari 10 perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari satu jenis kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian), hampir 17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan.
Perlindungan terhadap perempuan
Dewasa ini, di seluruh negara bagian mengesahkan UU untuk menanggapi marital rape atau perilaku menyimpang dalam pernikahan, namun UU tersebut jarang dijalankan. Banyak yang masih menolak untuk menyamakan marital rape dengan pemerkosaan sebenarnya. Suami sebagai pelaku tindak tersebut sering berkata “istri saya telah melakukan hubungan intim dengan saya sebanyak seribu kali sebelumnya”. Hal ini rupanya agak sulit membedakan antara hubungan intim karena sama suka dan hubungan intim karena paksaan dalam pernikahan (Barnett, Miller-Perrin, dan Perrin, 2005). Akibatnya, hanya sedikit sekali para suami sebagai pelaku kekerasan tersebut yang mendapatkan hukuman atau dijebloskan ke penjara. Namun, saat ini sudah banyak tersedia lembaga swadaya masyarakat yang melindungi hak-hak perempuan,sehinggga korban kekerasan dapat meminta perlindungan. Korban yang teraniaya juga dapat memanggil polisi dan meminta untuk menjauhkan mereka dari kekasih atau suaminya.
Sejak akhir 1980, sejumlah negara bagian mewajibkan dan mendorong upaya penangkapan suami yang telah bertindak kasar terhadap istrinya. Dengan begitu, sejumlah pelaku kekerasan telah tertangkap sampai detik ini. Solusi lainnya dalam permasalahan ini adalah negara memberikan perlindungan terhadap wanita dengan menggunakan polisi untuk mengeluarkan pelaku dari rumah dan menangkapnya apabila si pelaku kembali lagi ke rumah. Campur tangan polisi semacam ini secara efektif menghalangi sejumlah para suami yang kasar, namun hal ini akan menjadi bumerang apabila suami-suami tersebut tidak memiliki pekerjaan, alkoholik, atau memiliki permasalahan yang sangat berat. Pelaku kekerasan seperti ini sering kali menjadi lebih bengis dalam melakukan aksinya (Gelles, 1995; Zorza and Woods, 1994).
Cara lain bagi seorang wanita yang menjadi korban untuk mencari perlindungan adalah dengan pergi ke tempat penampungan atau rumah persembunyian khusus untuk mereka. Di sana mereka tak hanya mendapatkan perlindungan secara fisik dan dukungan sosial, namun juga mendapatkan pelayanan khusus, seperti konseling, bantuan hukum, hingga penyuluhan lowongan pekerjaan. Pelayanan yang terakhir tersebut sangat membantu bagi para wanita karena mereka bebas dari isolasi dan dapat mandiri tanpa ketergantungan ekonomi terhadap suami (Barnett, Miller-Perrin, dan Perrin, 2005; Gelles, 1995).
Akhirnya, sistem peradilan pidana melindungi wanita dengan mengharuskan pelakunya untuk ikut serta dalam program penyuluhan. Biasanya, ditegaskan dengan riset, para pelaku/suami yang telah menyelesaikan program penyuluhan secara signifikan cenderung berhenti bertindak kasar terhadap istrinya jika dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan penyuluhan. Namun sayang, hanya sedikit dari mereka yang menyelesaikan programnya. Kebanyakan yang ditangkap tidak dituntut atau dihukum, sehingga mereka tidak diharuskan untuk mengikuti penyuluhan. Beberapa di antara mereka secara sukarela meminta penyuluhan, namun kebanyakan berhenti di tengah jalan sebelum menyelesaikan program (Barnett, Miller-Perrin, dan Perrin, 2005; Mills, 2003; Gelles, 1995).
Perlindungan terhadap anak
Sejak pertengahan 1970-an setiap negara bagian mengesahkan hukum dengan melibatkan para guru, penyedia layanan kesehatan, dan para pakar lainnya untuk melaporkan kekerasan terhadap anak-anak  kepada agen pemerintah yang disebut Jasa Perlindungan Anak-anak. Ketika agen layanan tersebut memutuskan perkara setelah menginvestigasi laporan bahwa anak-anak menjadi korban kekerasan, mereka memberi salah satu dari dua wewenangnya: (1) melengkapi keluarga dengan dukungan sosial, seperti penyuluhan, layanan peduli harian, kupon makan, atau (2), jika orang tua mereka berbahaya, anak-anak dijauhkan dari orang tuanya dan ditempatkan di penampungan atau perkumpulan anak-anak angkat, bisa pada salah satu keluarganya yang lain, atau di pusat perawatan. Mayoritas (sekitar 75%) anak-anak yang teridentifikasi ditempatkan di rumah pengasuh (Gelles, 1995; George,Wulczyn, dan Funshel, 1994).
Tidak ada dari kedua solusi tersebut yang ideal. Ada resiko dalam program 'keluarga yang dilengkapi dengan dukungan sosial' selagi meninggalkan anak-anak dengan orang tua yang kasar. Anak-anak berkemungkinan terus-menerus menerima perlakuan kasar, hingga nyaris terbunuh. Faktanya, telah dilaporkan kepada Jasa Perlindungan Anak-anak bahwa anak-anak terbunuh usai timbulnya kekerasan. Ini dikarenakan agen tersebut selalu kekurangan tenaga dan terlalu sibuk sehingga laporan mengenai kekerasan terhadap anak-anak tidak sempat diusut atau ditunda dalam penanganannya. Ada juga resiko menjauhkan anak-anak dari orang tuanya. Pertama, anak-anak tidak sepenuhnya paham mengapa mereka dijauhkan dari orang tuanya; mereka mungkin berpikir bahwa sedang dihukum karena melakukan sesuatu yang salah. Masalah yang kedua adalah, selama anak-anak yang teraniaya mendapatkan asuhan atas kekerasan fisik dan mental kepada mereka, akan menjadi tanggung jawab yang berat bagi orang tua asuh merawat secara tepat bagi mereka, sebaliknya kondisi anak-anak akan memburuk.
Kelompok pembelaan anak-anak sering mendapatkan kritik dari agen pengasuhan anak atas kegagalannya melindungi anak-anak korban kekerasan baik di rumah mereka maupun di luar rumah. Namun, beberapa analisis menyimpulkan bahwa anak-anak akan tetap dalam keadaan terpuruk tanpa Layanan Perlindungan Anak-anak (Bernett, Miller-Perrin, dan Perrin, 2005; Gelles, 1995). Terkadang, meskipun demikian, agen pengasuhan anak-anak dapat bekerja sangat tekun dalam tugasnya sekalipun orang tua tidak bersalah diseret ke pengadilan atau penjara. Kasus-kasus yang terkenal buruknya melibatkan Layanan Perlindungan Anak di East Wenatchee, Washington. Agen ini menerapkan “terapi pemulihan memori” untuk membesarkan hati anak-anak yang telah mengalami kekerasan seksual oleh orang tuanya maupun orang asing. Pada atahun 1994 dan 1995 lebih dari 80 orang dewaasa di kota-kota kecil tertuduh melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Dari 80 orang tersebut, 20 orang lainnya dihukum dan dimasukkan ke penjara. Sebagian besar narapidana merupakan orang-orang miskin dan buta huruf. Tidak satupun orang yang dapat menyewa kuasa hukum dan melawan tuntutan yang berakhir di penjara (Carlson, 1995; Nathan, 1995). Namun, terapi pemulihan teori dengan kasus kekerasan yang dilakukan oleh orang tua mereka nampaknya relatif jarang dilakukan.


Perlindungan terhadap orang lanjut usia
Tidak ada agen pelayanan perlindungan khusus yang ditawarkan pemerintah kepada orang-orang lanjut usia bila dibandingkan dengan anak-anak, namun di semua negara bagian memiliki program perlindungan terhadap orang lansia. Negara juga menyediakan undang-undang perlindungan terhadap orang lanjut usia yang hampir sama dengan perlindungan pada anak-anak.  Kritik mengenai hal tersebut adalah, perundangan tersebut merendahkan martabat para lansia dengan menyamakannya dengan anak-anak. Kritik tersebut ada benarnya juga, sejauh ini orang lansia secara pribadi menolak campur tangan atau bantuan dari orang luar setelah mendapatkan perlakuan kasar dari keluarganya (Mixson, 1995; Fredriksen, 1989). Meskipun begitu, hukum membutuhkan ahli kesehatan jasmani dan mental serta penyelenggaraan hukum untuk melaporkan  kekerasan terhadap para lansia kepada departemen sosial.
Departemen sosial menawarkan bermacam-macam pelayanan kepada lansia, meliputi asisten ibu rumah tangga, layanan hukum, layanan kesehatan, penyuluhan, asisten yang mengatur keuangan dan makanan, asisten yang mengurus rumah, dan lain-lainnya. Ada dua pelayanan yang nampaknya sangat berguna bagi para lansia (Barnett, Miller-Perrin, dan Perrin, 2005): Layanan kesehatan: menyediakan dokter, perawat, terapi fisik, dan komunitas juru rawat kesehatan (yang mengunjungi kediaman para lansia). Layanan hukum: mendapatkan perintah untuk menahan dengan memindahkan pelaku kekerasan, perwakilan untuk lansia dan tanah kepemilikannya, perlindungan hak-hak lansia dan keuangannya, dan melindungi lansia dari perjanjian yang tidak jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar