KONSELING BEHAVIOR
A. PENDAHULUAN
Pendekatan
behavior didasari oleh hasil eksperimen yang melakukan investigasi tentang
prinsip-prinsip tingkah laku manusia. Eksperimen-eksperimen tersebut
menghasilkan teknik-teknik spesifik dalam pendekatan ini yang dipelopori oleh
beberapa tokoh behaviorisme yang terpercaya. Tokoh behaviorisme yang melahirkan
teknik-teknik konseling anatara lain : Skinner, Watson, Pavlov dan Bandura. Pendekatan
tingkah laku atau behavioral menekankan pada dimensi kognitif individu dan
menawarkan berbagai metode yang berorientasi pada tindakan (action-oriented) untuk membantu
mengambil langkah yang jelas dalam mengubah tingkah laku. Istilah modifikasi
perilaku (behavior modification) dan
pendekatan (behavior approach) banyak
digunakan secara bersamaan dengan makna yang sama. Konseling behavior memiliki
asumsi dasar bahwa setiap tingkah laku dapat dipelajari, tingkah laku lama
dapat diganti dengan tingkah laku baru, dan manusia memiliki potensi untuk
berperilaku baik atau buruk, tetap atau salah. Selain itu, manusia dipandang
sebagai individu yang mampu melakukan refreksi atas tingkah lakunya sendiri,
mengatur serta dapat mengontrol perilakunya, dan dapat belajar tingkah laku
baru atau dapat mempengaruhi perilaku orang lain (Walker & Shea, 1988, p.
36).
B. SEJARAH
Perkembangan
pendekatan behavior diawali pada tahun 1950-an dan awal 1960-an sebagai awal
radikal menentang perspektif psikoanalisis dominan. Pendekatan ini dihasilkan
berdasarkan hasil eksperimen para behaviorst yang memberikan sumbangan pada
prinsip-prinsip belajar dalam tingkah laku manusia. Pendekatan ini memiliki
perjalanan panjang mulai dari penelitian laboratorium terhadap binatang hingga
eksperimen terhadap manusia. Secara garis besar, sejarah perkembangan
pendekatan behavioral terdiri dari trend utama, yaitu : trend I : kondisioning
klasik (classical conditioning), tred
II : kondisioning operan (operant
conditioning), dan trend III : terapi kognitif (cognitive therapy) (Corey, 1986, p. 174)
Adapun menurut
Franks (1969) yang dikutip oleh Masters (1987) ada tiga hal yang sangat
berpengaruh terhadap munculnya terapi perilaku, ialah :
1.
Hasil penelitian dan tulisan dari
I.P Pavlov (1927, 1928) mengenai percobaan-percobaan dan hasilnya yang telah
dilakukan dengan mempergunakan hewan percobaannya (anjing), yang sekarang
dikenal dengan kondisioning klasik.
2.
Hasil penelitian dan tulisan dari
E.L Thorndike mengenai proses belajar dengan hadiah yang menghasilkan hokum
efek (law of efek) (1898, 1911, 1913)
dan yang sekarang dikenal dengan kondisioning aktif (operant) dan perilaku instrumental.
3.
Hasil penelitian dan tulisan dari
J.B Watson dengan rekan-rekannya (Jones, 1924; Watson 1916; Watson &
Rayner, 1920), yang mengamalkan teknik dasar dari apa yang telah dilakukan oleh
Pavlov, diamalkan untuk menghadapi seseorang dengan kelainan kejiwaan. Dari
Watson & Rayner ini dikenal percobaan klasik mengenai kondisioning operan
atau kondisioning aktif. Terhadap anak kecil bernama Albert kecil yang
ketakutan setiap kali mendengar suara keras, sehingga Albert kemudian takut
setiap kali melihat tikus tersebut. Percobaan yang kemudian bervariasi, antara
perangsangan yang diberikan dan jawaban yang diharapkan akan muncul,termasuk
menghilangkan ketakutan karena jenis perangsangannya lain dan dilakukan pembiasaan.
C. TUJUAN KONSELING
Sebagai bagian
yang integral dari system konseling behavioral selain berdasarkan asumsi-asumsi
di atas terdapat karakteristik yang dapat membedakan dengan pendekatan yang
lain. Corey (1977), George dan Cristiani (1990) mengemukakan bahwa konseling
behavioral itu memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
1.
Berfokus pada perilaku yang tampak
dan spesifik
2.
Memerlukan kecermatan dalam
perumusan terapeutik
3.
Mengembangkan prosedur perlakuan
spesifik sesuai dengan masalah klien
4.
Penaksiran objektif atas tujuan
terapeutik
Berdasarkan karakteristik ini sangat jelas bahwa
konseling behavioral secara konsisten menaruh perhatian pada perilaku yang
tampak. Perilaku yang tidak tampak dan bersifat umum harus dirumuskan lebih
spesifik. Tujuan konseling harus cermat, jelas dan dapat dicapai dengan
prosedur tertentu. Kecermatan penentuan tujuan sangat membantu konselor dan
klien dalam memilih prosedur perlakuaan yang tepat, dan sekaligus mempermudah
mengevaluasi keberhasilan konseling, perumusan tujuan secara spesifik dianggap
lebih penting dibandingkan dengan proses hubungan konseling. Perumusan tujuan
secara spesifik dianggap lebih penting dibandingkan dengan proses hubungan
konseling (George dan Cristiani 1990).
Berdasarkan uraian diatas secara singkat dapat
dipahami bahwa tujuan konseling behavior adalah mencapai kehidupan tanpa
mengalami perilaku simtomatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau
hambatan perilaku, yaitu dapat membuat ketidak puasan dalam jangka panjang
dan/mengalami konflik dengan kehidupan social.
Secara khusus, tujuan konseling behavioral mengubah
perilaku salah dalam penyesuaian dengan cara-cara memperkuat perilaku yang
diharapakan, dan meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta membantu
menemukan cara-cara berperilaku yang tepat.
D. PROSEDUR KONSELING
Untuk para ahli
behavioris, konseling dilakukan dengan menggunakan prosedur yang bervariasi dan
sistematis yang disengaja secara kghusus untuk mengubah perilaku dalam
batas-batas tujuan yang disusun secara bersama-sama konselor dank lien. Tokoh
aliran psikologi behavioral John D.Krumboltz dan Carl Thoresen (Gibson dan
Mitchell, 1981) menempatkan prosedur belajar dalam empat kategori, sebagai
berikut:
1.
Belajar operan (operan learning), adalah belajar
didasarkan atas perlunya pemberian ganjaran (reinforcement) untuk menghasilkan perubahan perilaku yang
diharapkan. Ganjaran dapat diberikan dalam bentuk dorongan dan penerimaan
sebagai persetujuan, pembenaran atau perhatian konselor terhadap perilaku yang
dilakukan klien.
2.
Belajar mencontoh (imitative learning), yaitu cara dalam
memberikan respon baru melalui menunjukkan atau mengerjakan model-model
perilaku yang di inginkan sehingga dapat dilakukan oleh klien.
3.
Belajar kognitif (cognitive learning), yaitu belajar
memelihara respon yang diharapkan dan boleh mengadaptasi perilaku yang lebih
baik melalui instruksi sederhana.
4.
Belajar emosi (emotional learning), yaitu cara yang
digunakan untuk mengganti respon-respon emosional klien yang tidak dapat
diterima menjadi respon emosional yang dapat diterima sesuai dengan konteks classical conditioning.
Teori behavioral berasumsi bahwa perilaku klien adalah hasil kondisi
konselor. Oleh karena itu, konselor dalam setiap menyelenggarakan konseling
harus beranggapan bahwa setiap reaksi klien adalah akibat dari situasi
(stimulus) yang diberikannya.
E.
PERANAN KONSELOR
Konselor
behavioral memiliki peran yang sangat penting dalam membantu klien, wolpe
mengemukakan peran yang harus dilakukan konselor, yaitu bersikap menerima,
mencoba memahami klien dan apa yang dikemukakan tanpa menilai atau
mengkritiknya.
Dalam hal ini
menciptakan iklim yang baik adalah sangat penting untuk mempermudah melakukan
modifikasi perilaku. Konselor lebih berperan senagai guru yang membantu klien
melakukan teknik-teknik modifikasi perilaku yang sesuai dengan masalah, tujuan
yang hendak dicapai.
F.
TEKNIK SPESIFIK
Konseling
behavioral memiliki sejumlah teknik spesifik yang digunakan untuk melakukan
pengubahan perilaku berdasarkan tujuan yang hendak dicapai. Teknik-teknik
spesifik tersebut sebenarnya sangat banyak, lebih dari 30 teknik
(Goldenberg,1983), yang di antaranya adalah : desensitisasi sistematis, terapi
implosive, latihan perilaku asertif, terapi aversi, pembentukan perilaku model,
dan kontrak perilaku.
1.
Desensitisasi Sistematis
Merupakan teknik relaksasi yang digunakan untuk menghapus
perilaku yang diperkuat secara negative biasanya berupa kecemasan, dan ia
menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan.
Dengan mengkondisian klasik, respon-respon yang tidak dikehendaki dapat
dihilangkan secara bertahap.
Cara yang digunakan dalam keadaan santai stimulus yang
menimbulkan kecemasan dipasangkan dengan stimulus yang menimbulkan keadaan
santai. Dipasangkan secara berulang-ulang sehingga stimulus yang semula
menimbulkan kecemasan hilang secara berangsur-angsur.
2.
Terapi Implosif
Dikembangkan berdasarkan atas asumsi bahwa seseorang yang
secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan
konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan ternyata tidak muncul, maka kecemasan
akan menghilang. Atas dasar asumsi ini, klien diminta untuk membayangkan
stimulus-stimulus yang menimbulkan kecemasan. Dalam situasi konseling, secara
berulang-ulang membayangkan stimulus sumber kecemasan dan konsekuensi yang
diharapkan ternyata tidak muncul, akhirnya stimulus yang mengancam tidak
memiliki kekuatan dan neurotiknya menjadi hilang.
3.
Latihan
Asertif
Digunakan untuk melatih individu yang mengalami kesulitan
untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini
terutama berguna untuk membantu orang yang tidak mampu mengungkapkan perasaan
tersinggung, kesulitan menyatakan “tidak”, menggunkapkan afeksi dan respon
positif lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan
bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok diterapkan untuk latihan asertif
ini.
4.
Teknik Pengkondisian Aversi
Dilakukan untuk meredakan perilaku simptomatik dengan cara
menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku
yang tidak dikehendaki (simptomatik) tersebut terhambat kemunculannya. Stimulus
dapat berupa sengatan listrik atau ramuan-ramuan yang membuat mual.
Stimulus yang tidak menyenagkan yang disajikan tersebut
diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak dikehendaki
kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara perilaku
yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
5.
Perilaku Model
Digunakan untuk: (1) membentuk perilaku baru pada klien, dan (2)
memperkuat perilaku yang sudah terbentuk dalam hal ini konselor menunjukkan
kepada klien tentang perilaku model, dapat menggunakan audio, model fisisk,
model hidup, atau lainnya yang hendak dicontoh.
Perilaku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor.
Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran social.
6.
Kontrak Perilaku
Didasarkan atas pandangan bahwa membantu klien untuk
membentuk perilaku tertentu yang diinginkan dan memperoleh ganjaran tertentu
sesuai dengan kontrak yang disepakati. Dalam hal ini individu mengantisipasi
perubahan perilaku mereka atas dasar persetujuan bahwa beberapa konsekuensi
akan muncul.
G. APLIKASI KONSELING
Konseling behavioral ini dalam berbagai eksperimen
mampu mengatasi masalah-masalah klien yang mengalami berbagai hambatan perilaku
seperti: pobia, cemas, gangguan kepribadian, serta sejumlah gangguan pada anak
(Hackmann, 1993). Lebih dari itu sebagai sanggahan terhadap kritik-kritik yang
ditujukan kepada pendekatan ini, Rachman (1963) dan Wolpe (1963) menegaskan
bahwa konseling behavioral tidak hanya mengatasi symptom yang bersifat
permukaan saja, tetapi juga mengatasi masalah-masalah yang mendalam, bahkan
dapat mengubah perilaku dalam jangka panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar